Saya pikir, jadi dalang wayang kulit masa sekarang bener-bener enak.
Enggak enak bagaimana? Lha wong dolanan wayang, yang notabene dikatakan
pekerjaan yang tumbuh dari keinginan hati, pasti enaknya. Sudah gitu
dibayar lagi. Banyak orang mengatakan, pekerjaan yang paling nyaman
adalah jenis pekerjaan yang memang menjadi kesenangannya. Pekerjaan yang
dijiwai itulah yang menjadikan sebuah pekerjaan seakan hanya berasa
sedang melakukan permainan. Coba, apa ada dalang yang jadi karena
dipaksa?
Kok disebut dalang wayang kulit masa sekarang? Sssst…
jangan kenceng-kenceng nanyanya, saya jelaskan bahwa masa sekarang
pagelaran wayang adalah pagelaran pakeliran padat. Kerja ndalangnya cuma
sebentar. Nanti akan saya jelaskan dibelakang.
Berbekal rasa
enak seperti itu, maka hasrat saya sebagai pecinta wayang untuk menjadi
dalang makin menggebu. Trus apa cuma enak dan nggak ada enaknya?
Eeeh…… masih dibaca juga. Kalau gitu maaf sebelumnya, saya sambung dulu
unek-unek kenapa saya ingin jadi dalang. Memang kesenian wayang kulit
yang masih eksis didalam sanubari orang Jawa walaupun dirasa makin
kesini makin menipis demand-nya. Bagaimana enggak, gempuran massive seni
kotemporer yang datang bergelombang dengan hentakan yang kuat merangsek
seni tradisi yang notabene kalah dalam beberapa hal. Dari sisi
teknologi jelas. Seni wayang yang tumbuh pada jaman serba manual jelas
kalah dari seni modern yang dikemas gebyar dan masuk akal. Itu salah
satu nggak enaknya.
Lagi. Dari sisi sosial juga demikian. Kisah
yang dipetik dari jaman raja-raja, jelas tidak masuk dalam pola pikir
generasi kritis masa sekarang yang hanya mengenal kekuasaan partai
politik. Juga dipandang dari sisi agama, malah ada yang menyebut haram.
Llllaaaah…. Bisa Anda sebutkan lebih lagi?
Tapi hal diatas enggak
menyurutkan keinginan saya untuk menjadi dalang, walau hanya
seandainya. Nha sekarang bagaimana seandainya betul-betul terjadi saya
jadi dalang?
Tata Panggung.
Tata pangguh akan saya rombak
total. Enggak lagi pakai layar atau kelir yang hampir sepuluh meter.
Cukup luasnya hanya lebih sedikit ketimbang jangkauan tangan. Layar saya
buat transparan, misalnya dibentang dari bahan berlapis gorilla glass
atau apapun sejenisnya. Tujuannya biar ga gampang baret tentunya, yang
penting transparan. Kenapa?, Gebyarnya wayang beserta warna-warninya
harus kelihatan dari depan dan belakang.
Dengan luas kelir yang
hanya sejangkauan tangan, terus gimana dong simpingannya. Ya ngga perlu
simpingan wayang laahh….. Daripada banyak bawa wayang yang keindahan
simpingan hanya diungkuri oleh pesinden, maka lebih baik simpingan
ditiadakan. Sebagai gantinya, simpingan wayang diganti simpingan sinden
kanan kiri, dengan panggung yang lebih tinggi biar kelihatan ngegla.
Cocok ya?
Jangan ditanya kriteria sinden yang akan saya rekrut.
Tapi boleh juga saya kasih tau, suara nomer dua, yang penting cantik dan
ngujiwat. Juga akan saya beri satu latar panggung dimana sinden dan
para bintang tamu serta bintang dadakan dimungkinkan supaya bisa
manggung bareng dan berjoged, juga pastinya; nyawer.
Tata Lampu Lampu.
Karena kelir terbuat dari bahan transparan, maka tata lampu juga
dirombak total. Lampu menghadap layar yang tadinya digantung tinggi
tinggi sehingga bayangan wayang menjadi tirus, sekarang ditata menjadi
multi beam. Tentu menghadap kebawah. Mohon diingatkan nanti bila saya
sudah menjadi dalang, tolong tunjukkan dimana saya harus membeli lampu
yang kelap-kelip dan bisa berputar putar seperti lampu yang dipakai di
diskotek itu. Saya mau pasang lampu-lampu jenis itu dipanggung sewaktu
saya ndalang.
Saya juga akan membeli seperangkat video tata
background dengan menyorotkan seberkas scene dari projector, yang
kira-kira hasilnya akan mebuat effek seperti illustrasi pada gambar
wayang di blognya maspatikraja, hi hi hi hi . . . . . .
Tata Suara.
Enggak usah yang Hi-Fi Stereo apalagi yang Dolby atau DTS 5.1 atau
bahkan 7.1. Audiens wayang nggak ngerti yang kaya gitu itu. Yang penting
adalah cukup mono saja, tapi suara harus menggelegar. Kendang harus
sekeras mungkin gebukannya, kemudian demung juga mesti dipukul kenceng
dan diberi mic spesial. Jangan lupa, sinden dan dalang serta kepraknya –
tolong perhatikan nanti yang jadi soundman saya -, suara yang aku sebut
itu harus di boost-up. Cukup itu!!! Perkara hasilnya kaya iringan
jathilan, ya bén ……
Kenapa? Gaya iringan stereo yang seperti hasil rekaman Dahlia atau Kusuma jaman baheula sudah out of date. Percaya deh….!
Gamelan.
Seperti disebutkan diatas, karena tata suara diharapkan yang
menggelegar, saya nggak akan make itu barang yang namanya slênthêm,
gêndér, gambang, rêbab, sitêr. Cukup instrument itu diganti dengan organ
tunggal saja. Karena sekarang suara instrument macam itu sudah bisa
dihasilkan dari synthesizer. Perkara miripnya, sebodo amat. Penting,
organ tunggal juga bakal saya pakai untuk mengiringi dangdutan.
Ada yang tanya lagi, kenapa begitu? Sebab tata suara yang dihasilkan
pada pola pagelaran saya tidak perlu sentuhan halus seni. Tapi yang
penting harus membahana. Tujuan dari suara menggelegar akan berefek
pagelaran “wayang” lebih rame, riuh dan gaduh!! Cara mBanyumasane maen
pokoke. Ada lagi malah, sebab ada yang nggak tau suara gender itu
seperti apa di pagelaran wayang kulit hi hi hii . . . . jadi buat apa?
(niru nada jawabannya Menkominfo era SBY ketika ditanya internet cepat
buat apa).
Jangan lupa juga diingatkan saya nanti bila saya sudah
jadi dalang, saya akan pake itu drum yang suaranya dahsyat seperti
genderangnya Manolo, itu fans sepak bola Spanyol jaman genderang belum
dilarang di persepak-bolaan Eropa. Juga symbalnya ya bro, jangan lupa,
supaya ada effek suara kicis-kicis gitu tu . . . .
Pola Pedhalangan.
Pagelaran akan saya buka dengan budhalan yang merupakan pengèram-èram
mengenai keprigêlan saya mengolah adegan sabêt. Misalnya saltonya wayang
butå rucah yang berangkat pergi entah kemana. Kalo perlu saltonya
diulang ulang hingga semalam bisa mencapai limapuluh kali. Sebab apa,
karena lebih banyak susahnya nyanggit sastra bahasa atau malagukan luk
lagu sulukan. Mendingan sabet aja deh, yang dari kecil memang latihannya
itu saja kok. Toh sekarang penonton lebih menyukai itu karena
disinyalir mereka sudah lama ter-reduksi sastra jawanya.
Habis
itu, adegannya adalah Limbuk-Cangik yang ditujukan memenuhi request
lagu-lagu dari para penonton. Sinden yang jumlahnya minimal selusin akan
aku garap satu persatu. Mereka akan aku minta berdiri dan menembang
dengan tentu saja menari dan melawak bersama bintang tamu. Bintang tamu
luwak…eh …. lawaknya aku pilih yang bicaranya bisa mengutak-atik suatu
perkara supaya mathuk. Nggak peduli pola pikir si pelawak itu intelek
atau dogol, yang penting bisa bikin gêr-gêran.
Adegan ini akan saya gelar hingga sekitar jam satu malam baru selesai. Lalu adegannya baru mulai gara-gara.
Pada adegan gara-gara ini, karena anak kecil sudah pada pulang,–pake
pertimbangan moral dikit-, maka aku makin bebas mengeksplorasi kelucuan
dengan yang banyak menyerempet hal yang saru cenderung porno. Tentu juga
karena penonton pada jam-jam sigitu sudah mulai jenuh dan ngantuk. Maka
kadar lawakan harus diperkuat dosisnya dengan mengetengahkan serempetan
kesaruan dan kelékohan, kalau perlu tarian sindennya juga harus lebih
hot. Bisa juga dengan tarian yang sedikit erotis. Tidak haram kalau
gamelan menyajikan beat yang lebih memuncak; lédhék bahkan jaipongan.
Gaya Bahasa
Gaya bahasa akan saya buat sedemikian rupa sehingga sebagian besar
penonton mengerti ungkapan hati saya. Akan saya campur dialog atau
antawecana dan narasi atau janturan bahasa Jawa dengan bahasa Indonesia
saja. Bukan apa-apa, karena sudah banyak istilah jawa yang saya sudah
nggak ingat dan nggak paham hi hi hi hi…… ngaku…..
Saya nggak
peduli bahwa salah satu sangu sebagai dalang jaman dahulu adalah haram
menggunakan bahasa selain Jawa. Kalaupun berbahasa Indonesia untuk
dialog, itu berlaku untuk mendialog-kan mBilung, itu jadul!
Alur Cerita.
Alur cerita tidak penting. Yang penting adalah, jam tiga atau setengah
empat, tergantung berapa banyak request dan peran serta para tamu,
gara-gara diakhiri. Nggak peduli suara sapu lidi pembersih arena sudah
bunyi, lakon harus dijalani.
Yang penting lagi adalah, bagaimana
mengalihkankan persepsi, bahwa ini adalah bukan arena joged atau
campursari bahkan dang-dut. Tapi ini harus dipersepsikan sebagai
pagelaran wayang. Bila lakonnya Gugurnya Dasamuka. Maka ya itu…., tau
tau Dasamuka gugur aja. Kalau lakonnya Wahyu Cakraningrat, maka pada
akhir cerita disekitar jam empat sebelum adzan subuh, Abimanyu dapat
wahyu, gitu aja. Cukup.
****
Badhut lan Sinden
Itulah kenapa saya ingin jadi dalang. Sebab disamping yang saya sebut
pada permulaan cerita, kayanya jadi dalang jaman sekarang, enteng. Cuma
jadi dirigen atau emsi. Ngga perlu lagi belajar sastra jawa, latihan
suluk (kalau suluk-pun nggak penting tau arti cakepannya, toh penonton
banyak yang nggak tau juga atau nggak peduli). Nggak perlu juga saya
harus nyanggit cerita dan babakannya, membawakan cerita bagaimana agar
penonton tetap terpaku ditempat, etc etc…
Jadi dalang masa kini
itu kaya’nya enak. Tinggal duduk dan glêwéhan bersama sindén dan nayaga,
bintang tamu, serta audiens kalau perlu.
Peduli amat dengan
label bahwa saya bukan pekerja seni, tetapi dikatakan buruh mayang.
Peduli apa juga dengan cap bahwa ini bukan pertunjukan atau pentas
kesenian. Terlebih, apa kapasitas saya terhadap tuntutan, bahwa dalang
adalah harus menjadi penuntun moral bagi jiwa masyarakat?