Kamis, 29 Oktober 2015

"Uneg uneg" penggemar wayang.

Saya pikir, jadi dalang wayang kulit masa sekarang bener-bener enak. Enggak enak bagaimana? Lha wong dolanan wayang, yang notabene dikatakan pekerjaan yang tumbuh dari keinginan hati, pasti enaknya. Sudah gitu dibayar lagi. Banyak orang mengatakan, pekerjaan yang paling nyaman adalah jenis pekerjaan yang memang menjadi kesenangannya. Pekerjaan yang dijiwai itulah yang menjadikan sebuah pekerjaan seakan hanya berasa sedang melakukan permainan. Coba, apa ada dalang yang jadi karena dipaksa?
Kok disebut dalang wayang kulit masa sekarang? Sssst… jangan kenceng-kenceng nanyanya, saya jelaskan bahwa masa sekarang pagelaran wayang adalah pagelaran pakeliran padat. Kerja ndalangnya cuma sebentar. Nanti akan saya jelaskan dibelakang.
Berbekal rasa enak seperti itu, maka hasrat saya sebagai pecinta wayang untuk menjadi dalang makin menggebu. Trus apa cuma enak dan nggak ada enaknya?
Eeeh…… masih dibaca juga. Kalau gitu maaf sebelumnya, saya sambung dulu unek-unek kenapa saya ingin jadi dalang. Memang kesenian wayang kulit yang masih eksis didalam sanubari orang Jawa walaupun dirasa makin kesini makin menipis demand-nya. Bagaimana enggak, gempuran massive seni kotemporer yang datang bergelombang dengan hentakan yang kuat merangsek seni tradisi yang notabene kalah dalam beberapa hal. Dari sisi teknologi jelas. Seni wayang yang tumbuh pada jaman serba manual jelas kalah dari seni modern yang dikemas gebyar dan masuk akal. Itu salah satu nggak enaknya.
Lagi. Dari sisi sosial juga demikian. Kisah yang dipetik dari jaman raja-raja, jelas tidak masuk dalam pola pikir generasi kritis masa sekarang yang hanya mengenal kekuasaan partai politik. Juga dipandang dari sisi agama, malah ada yang menyebut haram. Llllaaaah…. Bisa Anda sebutkan lebih lagi?
Tapi hal diatas enggak menyurutkan keinginan saya untuk menjadi dalang, walau hanya seandainya. Nha sekarang bagaimana seandainya betul-betul terjadi saya jadi dalang?

Tata Panggung.

Tata pangguh akan saya rombak total. Enggak lagi pakai layar atau kelir yang hampir sepuluh meter. Cukup luasnya hanya lebih sedikit ketimbang jangkauan tangan. Layar saya buat transparan, misalnya dibentang dari bahan berlapis gorilla glass atau apapun sejenisnya. Tujuannya biar ga gampang baret tentunya, yang penting transparan. Kenapa?, Gebyarnya wayang beserta warna-warninya harus kelihatan dari depan dan belakang.
Dengan luas kelir yang hanya sejangkauan tangan, terus gimana dong simpingannya. Ya ngga perlu simpingan wayang laahh….. Daripada banyak bawa wayang yang keindahan simpingan hanya diungkuri oleh pesinden, maka lebih baik simpingan ditiadakan. Sebagai gantinya, simpingan wayang diganti simpingan sinden kanan kiri, dengan panggung yang lebih tinggi biar kelihatan ngegla. Cocok ya?
Jangan ditanya kriteria sinden yang akan saya rekrut. Tapi boleh juga saya kasih tau, suara nomer dua, yang penting cantik dan ngujiwat. Juga akan saya beri satu latar panggung dimana sinden dan para bintang tamu serta bintang dadakan dimungkinkan supaya bisa manggung bareng dan berjoged, juga pastinya; nyawer.

Tata Lampu Lampu.

Karena kelir terbuat dari bahan transparan, maka tata lampu juga dirombak total. Lampu menghadap layar yang tadinya digantung tinggi tinggi sehingga bayangan wayang menjadi tirus, sekarang ditata menjadi multi beam. Tentu menghadap kebawah. Mohon diingatkan nanti bila saya sudah menjadi dalang, tolong tunjukkan dimana saya harus membeli lampu yang kelap-kelip dan bisa berputar putar seperti lampu yang dipakai di diskotek itu. Saya mau pasang lampu-lampu jenis itu dipanggung sewaktu saya ndalang.
Saya juga akan membeli seperangkat video tata background dengan menyorotkan seberkas scene dari projector, yang kira-kira hasilnya akan mebuat effek seperti illustrasi pada gambar wayang di blognya maspatikraja, hi hi hi hi . . . . . .
Tata Suara.
Enggak usah yang Hi-Fi Stereo apalagi yang Dolby atau DTS 5.1 atau bahkan 7.1. Audiens wayang nggak ngerti yang kaya gitu itu. Yang penting adalah cukup mono saja, tapi suara harus menggelegar. Kendang harus sekeras mungkin gebukannya, kemudian demung juga mesti dipukul kenceng dan diberi mic spesial. Jangan lupa, sinden dan dalang serta kepraknya – tolong perhatikan nanti yang jadi soundman saya -, suara yang aku sebut itu harus di boost-up. Cukup itu!!! Perkara hasilnya kaya iringan jathilan, ya bén ……
Kenapa? Gaya iringan stereo yang seperti hasil rekaman Dahlia atau Kusuma jaman baheula sudah out of date. Percaya deh….!

Gamelan.

Seperti disebutkan diatas, karena tata suara diharapkan yang menggelegar, saya nggak akan make itu barang yang namanya slênthêm, gêndér, gambang, rêbab, sitêr. Cukup instrument itu diganti dengan organ tunggal saja. Karena sekarang suara instrument macam itu sudah bisa dihasilkan dari synthesizer. Perkara miripnya, sebodo amat. Penting, organ tunggal juga bakal saya pakai untuk mengiringi dangdutan.
Ada yang tanya lagi, kenapa begitu? Sebab tata suara yang dihasilkan pada pola pagelaran saya tidak perlu sentuhan halus seni. Tapi yang penting harus membahana. Tujuan dari suara menggelegar akan berefek pagelaran “wayang” lebih rame, riuh dan gaduh!! Cara mBanyumasane maen pokoke. Ada lagi malah, sebab ada yang nggak tau suara gender itu seperti apa di pagelaran wayang kulit hi hi hii . . . . jadi buat apa? (niru nada jawabannya Menkominfo era SBY ketika ditanya internet cepat buat apa).
Jangan lupa juga diingatkan saya nanti bila saya sudah jadi dalang, saya akan pake itu drum yang suaranya dahsyat seperti genderangnya Manolo, itu fans sepak bola Spanyol jaman genderang belum dilarang di persepak-bolaan Eropa. Juga symbalnya ya bro, jangan lupa, supaya ada effek suara kicis-kicis gitu tu . . . .

Pola Pedhalangan.

Pagelaran akan saya buka dengan budhalan yang merupakan pengèram-èram mengenai keprigêlan saya mengolah adegan sabêt. Misalnya saltonya wayang butå rucah yang berangkat pergi entah kemana. Kalo perlu saltonya diulang ulang hingga semalam bisa mencapai limapuluh kali. Sebab apa, karena lebih banyak susahnya nyanggit sastra bahasa atau malagukan luk lagu sulukan. Mendingan sabet aja deh, yang dari kecil memang latihannya itu saja kok. Toh sekarang penonton lebih menyukai itu karena disinyalir mereka sudah lama ter-reduksi sastra jawanya.
Habis itu, adegannya adalah Limbuk-Cangik yang ditujukan memenuhi request lagu-lagu dari para penonton. Sinden yang jumlahnya minimal selusin akan aku garap satu persatu. Mereka akan aku minta berdiri dan menembang dengan tentu saja menari dan melawak bersama bintang tamu. Bintang tamu luwak…eh …. lawaknya aku pilih yang bicaranya bisa mengutak-atik suatu perkara supaya mathuk. Nggak peduli pola pikir si pelawak itu intelek atau dogol, yang penting bisa bikin gêr-gêran.
Adegan ini akan saya gelar hingga sekitar jam satu malam baru selesai. Lalu adegannya baru mulai gara-gara.
Pada adegan gara-gara ini, karena anak kecil sudah pada pulang,–pake pertimbangan moral dikit-, maka aku makin bebas mengeksplorasi kelucuan dengan yang banyak menyerempet hal yang saru cenderung porno. Tentu juga karena penonton pada jam-jam sigitu sudah mulai jenuh dan ngantuk. Maka kadar lawakan harus diperkuat dosisnya dengan mengetengahkan serempetan kesaruan dan kelékohan, kalau perlu tarian sindennya juga harus lebih hot. Bisa juga dengan tarian yang sedikit erotis. Tidak haram kalau gamelan menyajikan beat yang lebih memuncak; lédhék bahkan jaipongan.

Gaya Bahasa

Gaya bahasa akan saya buat sedemikian rupa sehingga sebagian besar penonton mengerti ungkapan hati saya. Akan saya campur dialog atau antawecana dan narasi atau janturan bahasa Jawa dengan bahasa Indonesia saja. Bukan apa-apa, karena sudah banyak istilah jawa yang saya sudah nggak ingat dan nggak paham hi hi hi hi…… ngaku…..
Saya nggak peduli bahwa salah satu sangu sebagai dalang jaman dahulu adalah haram menggunakan bahasa selain Jawa. Kalaupun berbahasa Indonesia untuk dialog, itu berlaku untuk mendialog-kan mBilung, itu jadul!

Alur Cerita.

Alur cerita tidak penting. Yang penting adalah, jam tiga atau setengah empat, tergantung berapa banyak request dan peran serta para tamu, gara-gara diakhiri. Nggak peduli suara sapu lidi pembersih arena sudah bunyi, lakon harus dijalani.
Yang penting lagi adalah, bagaimana mengalihkankan persepsi, bahwa ini adalah bukan arena joged atau campursari bahkan dang-dut. Tapi ini harus dipersepsikan sebagai pagelaran wayang. Bila lakonnya Gugurnya Dasamuka. Maka ya itu…., tau tau Dasamuka gugur aja. Kalau lakonnya Wahyu Cakraningrat, maka pada akhir cerita disekitar jam empat sebelum adzan subuh, Abimanyu dapat wahyu, gitu aja. Cukup.
****

Badhut lan Sinden

Itulah kenapa saya ingin jadi dalang. Sebab disamping yang saya sebut pada permulaan cerita, kayanya jadi dalang jaman sekarang, enteng. Cuma jadi dirigen atau emsi. Ngga perlu lagi belajar sastra jawa, latihan suluk (kalau suluk-pun nggak penting tau arti cakepannya, toh penonton banyak yang nggak tau juga atau nggak peduli). Nggak perlu juga saya harus nyanggit cerita dan babakannya, membawakan cerita bagaimana agar penonton tetap terpaku ditempat, etc etc…

Jadi dalang masa kini itu kaya’nya enak. Tinggal duduk dan glêwéhan bersama sindén dan nayaga, bintang tamu, serta audiens kalau perlu.
Peduli amat dengan label bahwa saya bukan pekerja seni, tetapi dikatakan buruh mayang. Peduli apa juga dengan cap bahwa ini bukan pertunjukan atau pentas kesenian. Terlebih, apa kapasitas saya terhadap tuntutan, bahwa dalang adalah harus menjadi penuntun moral bagi jiwa masyarakat?